Pabrik iPhone di China telah lama menjadi tulang punggung produksi global Apple. Dengan tenaga kerja yang mencapai sekitar 700 ribu pekerja, fasilitas ini menjadi salah satu kompleks manufaktur terbesar di dunia. Situasi ini menimbulkan pertanyaan: bisakah Amerika Serikat benar-benar menyaingi skala produksi sebesar itu?
Dalam wawancara terbaru, CEO Apple Tim Cook menyebut bahwa rantai pasok di China telah berkembang selama puluhan tahun, didukung oleh tenaga kerja yang sangat terampil dan sistem logistik yang sudah matang. “Bukan hanya soal jumlah pekerja, tapi efisiensi dan kecepatan produksi yang sudah teruji,” ujar Cook.
Di sisi lain, Amerika Serikat tengah mendorong kemandirian industri teknologi, termasuk produksi semikonduktor dan perangkat elektronik. Namun, membangun fasilitas berskala besar dengan efisiensi setara pabrik iphone di China bukan hal yang mudah. Apalagi, infrastruktur dan biaya tenaga kerja di AS sangat berbeda dibanding Tiongkok.
Pabrik utama Apple di China yang dikelola oleh Foxconn memiliki sistem kerja yang sangat terorganisir. Dalam satu area industri di Zhengzhou saja, dikenal dengan sebutan “iPhone City”, ratusan ribu pekerja tinggal dan bekerja dalam sistem yang hampir seperti kota mandiri.
Sementara itu, AS menghadapi tantangan dalam mengembangkan pabrik serupa. Mulai dari keterbatasan SDM manufaktur, biaya pembangunan yang tinggi, hingga kerumitan regulasi. Meskipun ada dukungan dari pemerintah, waktu yang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan cukup panjang.
Kesimpulannya, skala produksi iPhone di China bukan hanya soal jumlah, tapi juga tentang efisiensi dan integrasi yang telah terbangun selama bertahun-tahun. Untuk saat ini, tampaknya AS masih jauh dari mampu menyaingi keunggulan manufaktur Tiongkok dalam hal produksi smartphone sekelas iPhone.