QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard kini ramai dibahas. Sistem pembayaran digital ini menarik perhatian Amerika Serikat. Penyebabnya terkait kebijakan tarif tinggi yang dulu diberlakukan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump.
QRIS adalah sistem pembayaran berbasis kode QR yang dikelola Bank Indonesia. Sistem ini menyatukan berbagai aplikasi pembayaran dalam satu standar nasional. Dengan satu kode QR, pengguna bisa membayar dari OVO, GoPay, Dana, atau LinkAja.
Perhatian AS muncul karena dua hal. Pertama, ekonomi digital Indonesia tumbuh sangat cepat. Kedua, teknologi lokal semakin mandiri. Ini membuat Indonesia tak terlalu bergantung pada sistem pembayaran Barat.
Pengaruh Kebijakan Trump
Meski Trump sudah tak menjabat, kebijakannya masih terasa. Ia mendorong kebijakan tarif untuk melindungi produk dalam negeri. Strategi ini juga bertujuan menekan dominasi ekonomi asing.
QRIS dinilai sebagai bentuk kemandirian Indonesia di sektor keuangan. Bagi sebagian kalangan di AS, ini bisa mengganggu sistem global yang selama ini mereka kuasai. Maka, wajar bila muncul perhatian dan kekhawatiran dari Washington.
Tantangan untuk Indonesia
QRIS kini bukan sekadar alat pembayaran. Ia membawa dimensi strategis. Ada beberapa tantangan ke depan:
- Diplomasi Ekonomi: Pemerintah harus pastikan QRIS tidak dilihat sebagai hambatan bagi investor asing.
- Keamanan Data: Sistem QRIS harus terus diperkuat agar tak mudah diretas atau disalahgunakan.
- Ekspansi Regional: Indonesia telah menjajaki kerja sama QR lintas batas di ASEAN. Ini langkah penting memperluas pengaruh.
Kesimpulan
QRIS adalah simbol kemandirian digital Indonesia. Sorotan dari AS, meski berasal dari kebijakan lama Trump, menunjukkan besarnya pengaruh sistem ini. Indonesia perlu melanjutkan inovasi dengan tetap menjaga kerja sama global yang sehat.